Rabu, 16 Desember 2009

Tax Review : Persiapan Pelaporan SPT Tahunan PPh Badan

Dalam sistem self assesment, Wajib Pajak diberi kepercayaan penuh dalam menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Penyampaian SPT Tahunan PPh dapat dikatakan sebagai muara dari seluruh kegiatan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sepanjang tahun berjalan.
 

Namun sering terlepas dari perhitungan kita adalah fakta bahwa pelimpahan kewenangan itu jelas memiliki implikasi penting yang hampir pasti mengikutinya, yaitu konsekuensi logis dari sistem self assessment adalah dilakukannya berbagai pengujian oleh pihak otoritas yang melimpahkan wewenang self assessment untuk meyakini bahwa berbagai kewajiban perpajakan memang telah dipenuhi sesuai aturan. Salah satu bentuk dari pengujian itu adalah pemeriksaan pajak.

Semua pembayar pajak pada dasarnya berpeluang kurang lebih sama untuk diperiksa. Oleh sebab itu, sebelum Wajib Pajak menyusun SPT Tahunan PPh, sebaiknya Wajib Pajak terlebih dahulu melakukan review atas pemenuhan kewajiban perpajakannya dalam satu tahun pajak. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir berbagai koreksi yang mungkin timbul pada saat pemeriksaan pajak guna menghindari sanksi perpajakan.

Dalam konteks pemeriksaan pajak, ada baiknya kita mengambil suatu pepatah, yaitu “sedia payung sebelum hujan”. Dengan melakukan tax review, berbagai hal bisa diperbaiki sebelum terlambat. Kesalahan yang bisa dibetulkan sendiri oleh Wajib Pajak sebelum pemeriksaan memiliki sanksi yang lebih ringan dibandingkan kesalahan yang ditemukan pada saat pemeriksaan.

Melalui tax review, akan dilakukan pengkajian aspek perpajakan terhadap semua transaksi yang akan dan telah terjadi sampai dengan kondisi tahun terakhir, termasuk dokumen kontrak/perjanjian antara perusahaan dengan pihak ketiga lainnya, guna mendapatkan suatu solusi terbaik sebagai pedoman bagi manajemen untuk pelaksanaan perpajakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Senin, 26 Oktober 2009

Bisnis dan Pajak

Saat ini, bisnis dan pajak tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Di mana ada potensi keuntungan ekonomis, di situ biasanya akan ada kegiatan bisnis. Di mana pun ada bisnis di situ ada pajak yang mewakili kepentingan negara.

Semua kegiatan berbisnis tidak akan luput dari kewajiban pajak. Untuk penyerahan barang dan atau jasa yang dilakukan akan ada kewajiban memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk itu terdapat berbagai kewajiban administratif yang harus dijalankan seperti membuat Faktur Pajak, mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) kemudian menyetorkannya ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos dan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dan kemudian melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana pengusaha tersebut terdaftar. Bila dalam menjalankan bisnisnya diperoleh keuntungan, maka yang bersangkutan harus membayar Pajak Penghasilan (PPh). Belum lagi kewajiban memotong atau memungut PPh atas penghasilan pihak lain melalui mekanisme withholding tax.

Pajak memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam bisnis. Artinya pajak bisa mempengaruhi kelangsungan bisnis seorang pengusaha. Banyak contoh kasus di lapangan yang sudah terjadi, ada perusahaan yang terpaksa ditutup hanya karena persoalan perpajakan, terlepas mana yang salah, pengusahanya atau sistem perpajakannya.

Pengusaha harus sadar betul akan hal ini. Oleh karena itu, sebelum menentukan kebijakan bisnisnya, Pengusaha harus mengintegrasikan peraturan perpajakan di dalamnya. Setiap keputusan bisnis biasanya akan menimbulkan adanya transaksi, setiap transaksi akan melibatkan aliran dana atau uang dan setiap aliran uang dalam bisnis sangat mungkin akan terekspos pajak. Dalam hal ini, di benak pengusaha harus selalu waspada pajak, bisa dampak PPh, PPN maupun jenis pajak yang lain. Di samping itu, dalam melihat keuntungan, pengusaha harus berorientasi pada Net Income After Tax, jangan sekedar keuntungan, tetapi harus keuntungan yang sudah memasukkan biaya pajak dalam penghitungannya.

Kesadaran inilah yang dibutuhkan bagi seorang pengusaha akan peranan dan pentingnya pajak dalam bisnis. Pengusaha harus memperhatikan, mempersiapkan serta mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan pajak. Dan bila perlu dapat melakukan perbaikan atau pembetulan untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Dengan cara berpikir seperti ini pengusaha akan bisa memprediksi segala kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Bila tidak demikian, kesalahan biasanya akan terakumulasi dalam waktu yang relatif lama sehingga nilainya akan terus bertambah besar pula. Kesalahan yang tidak disadari akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak.



Jumat, 30 Januari 2009

Perencanaan Pajak sebagai Upaya Meminimalkan Beban Pajak

Pengertian Manajemen dan Perencanaan Pajak

Pada umumnya, perencanaan pajak (
tax planning) merujuk kepada proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun demikian, perencanaan pajak juga dapat diartikan sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat secara optimal menghindari pemborosan sumber daya.

Perencanaan Pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Manajemen pajak itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan (
tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control). Pada tahap perencanaan pajak ini, dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan. Tujuannya adalah agar dapat dipilih jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya, penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimimalisasi kewajiban pajak.

Manajemen Perpajakan yang Ekonomis, Efisien, dan Efektif

Untuk dapat meminimalisasi kewajiban pajak, dapat dilakukan berbagai cara, baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (
unlawful), seperti tax avoidance dan tax evasion.

Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau kejadian mempunyai dampak perpajakan. Apabila kejadian tersebut mempunyai dampak pajak, apakah dampak tersebut dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Selanjutnya, apakah pembayaran pajak tersebut dapat ditunda.

Pada dasarnya, perencanaan pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut: (1) tidak melanggar ketentuan perpajakan, (2) secara bisnis dapat diterima, dan (3) bukti-bukti pendukungnya memadai.


 Aspek-aspek dalam Perencanaan Pajak
 

Aspek Formal dan Administratif

- Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP);

- Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan;

- Memotong dan/atau memungut pajak;

- Membayar pajak;

- Menyampaikan Surat Pemberitahuan.
 


Aspek Material

Basis penghitungan pajak adalah objek pajak. Dalam rangka optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih dan tidak kurang. Untuk itu, objek pajak harus dilaporkan secara benar dan lengkap.


Tahapan Perencanaan Pajak

a. Menganalisis informasi yang ada (analyzing the existing data base)

b. Membuat satu atau lebih model kemungkinan jumlah pajak (designing one or more possible tax plans)

c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak (evaluating a tax plan)

d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the tax plans)

e. Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan)
 


Strategi Umum Perencanaan Pajak

a. Tax Saving

Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya, perusahaan dapat melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang.

b. Tax Avoidance

Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak. Misalnya, perusahaan yang masih mengalami kerugian, perlu mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi pemberian natura karena natura bukan merupakan objek pajak PPh Pasal 21.

c. Menghindari Pelanggaran atas Peraturan Perpajakan

Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari timbulnya sanksi perpajakan berupa:
• Sanksi administrasi: denda, bunga, atau kenaikan;
• Sanksi pidana: pidana atau kurungan.

d. Menunda Pembayaran Kewajiban Pajak

Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan.

e. Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan

Wajib Pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal 22 atas pembelian impor atau penjualan kepada Bendaharawan Pemerintah.



Kamis, 08 Januari 2009

Pemeriksaan Pajak


“Pada prinsipnya Wajib Pajak mempunyai kesempatan yang sama untuk dilakukan pemeriksaan pajak.”

Siapapun Anda, peluang pemeriksaan tetap terbuka. Pemeriksaan pajak adalah satu hal yang paling dihindari oleh setiap Wajib Pajak. Dalam kenyataannya, Wajib Pajak seringkali harus membayar lagi sejumlah pajak yang dianggap kurang dibayar. Tidak tanggung-tanggung, sangat mungkin jumlah yang harus dibayar itu besarnya puluhan atau bahkan ratusan kali lipat dari jumlah pajak yang telah dibayar. Ini fakta dan nyata.

Fenomena apakah itu sebenarnya? Di satu sisi sistem perpajakan kita memanglah belum sempurna. Di sisi lain, hal ini ditambah lagi dengan kualitas Wajib Pajak sendiri yang selalu mencoba mencari cara – baik atau buruk – untuk menghindar dari membayar pajak. Hal ini bisa mendorong Wajib Pajak untuk mencoba “mengakali” pembukuannya dan dapat memancing aparat untuk terus-menerus curiga. Lack ini jelas ditimpali lagi dengan kurangnya pemahaman di sisi Wajib Pajak dan kondisi mudahnya aparat pajak melakukan koreksi.

Adalah terlalu sulit jika Wajib Pajak berharap agar sistem pajak segera menjadi lebih baik dan ideal. Ini sama dengan berharap setiap orang berubah menjadi sukarela membayar pajak. Sulit untuk berharap bahwa aturan perpajakan menjadi lebih bisa dipahami dan dimengerti, mudah dan murah sesegera mungkin. Sebab kita tahu, kepentingan otoritas adalah meningkatkan penerimaan pajak dan meregulasi berbagai hal dari sisi perpajakan.

Dan kita tahu pula, bahwa kepentingan Wajib Pajak adalah mengurangi beban semaksimal mungkin termasuk beban pajak. Ini jelas bertentangan. Kondisi pertentangan itu bisa dipersepsi sebagai sebuah arena permainan dan persaingan, atau sebagai sebuah bentuk arena kerjasama untuk berbagi kesejahteraan, antara Wajib Pajak, rakyat dan negara. Manapun orientasi dan sudut pandang yang Anda pilih, satu hal sudah pasti yaitu bahwa Anda sebagai Wajib Pajak harus punya bekal yang cukup. Seberapa cukup?

Kecukupan bekal itu harus diukur dari karakteristik arena itu sendiri. Apa sajakah itu?

Pertama, bekal yang Anda perlukan adalah koleksi aturan. Semua interaksi dengan otoritas pajak harus dilandasi oleh aturan. Anda perlu software database perpajakan.

Selanjutnya, Anda harus mau meluangkan waktu untuk terus memahami dan meng-update aturan pajak dan aturan pemeriksaan pajak, karena setiap langkah dan transaksi bisnis Anda pasti diintai oleh pajak.

Berikutnya, Anda harus tahu bagaimana mempersiapkan diri dan pembukuan untuk menghadapi pemeriksaan pajak.

Kemudian, Anda harus paham pula bagaimana menghadapi dan berinteraksi dengan pemeriksa pajak secara real time.

Selanjutnya, Anda harus paham dan mengerti bagaimana berargumentasi dan berkomunikasi dengan aparat pajak dalam rangka mempertahankan besarnya pajak yang sudah Anda bayar, agar tidak harus membayar pajak lagi.

Kemudian, Anda harus tahu bagaimana merespon sikap dan perilaku aparat secara benar dan bijak, agar tidak salah langkah atau salah omong dan salah tingkah.

Kemudian, Anda harus tahu bagaimana melakukan manuver agar bisa terhindar dari situasi yang tidak menguntungkan saat berhadapan dengan pemeriksa. Setelah semuanya selesai, Anda juga harus tahu bagaimana menindaklanjuti hasil pemeriksaan pajak. Itupun harus dilanjutkan dengan pemahaman tentang bagaimana melakukan adaptasi terhadap berbagai hal dalam pembukuan dan transaksi.

Dan terakhir, Anda juga harus memahami bagaimana membentuk pola learning system yang benar untuk masa depan, agar kemalangan Anda tidak terulang lagi dan lagi.

Rabu, 24 Desember 2008

Grey Area dalam Perpajakan

Idealnya, peraturan yang baik - termasuk peraturan pajak - adalah peraturan yang tidak mengandung grey area. Namun demikian, hal itu tidak mungkin dicapai karena manusia pasti mempunyai kelemahan dan pasti memiliki perbedaan dalam kepentingan antara satu pihak dengan pihak yang lain.
Grey area perpajakan adalah sebuah keadaan, transaksi atau kejadian yang dicurigai berat terekspos oleh aturan pajak, akan tetapi tidak ada aturan pajak yang berlaku sekarang yang bisa diterapkan terhadap hal tersebut.
Maka dalam konteks perpajakan, grey area adalah:
  • Keadaan atau transaksi yang sebenarnya terekspos pajak, akan tetapi tidak ada aturan yang mengaturnya;
  • Ada aturannya tapi tidak jelas karena tidak lengkap, tidak implementatif, tidak informatif, memunculkan multi tafsir, berbeda antara aturan dan praktek dan sebagainya;
  • Ada aturannya, akan tetapi jumlahnya lebih dari satu sehingga mengakibatkan terjadinya kesimpangsiuran peraturan, tarik-menarik, saling berkontradiksi dan sebagainya.
Grey area dalam perpajakan sering mengakibatkan munculnya perbedaan persepsi antara satu pihak dengan pihak lain (misalnya antara otoritas pajak dengan pembayar pajak, atau di antara pembayar pajak sendiri, atau bahkan di antara pihak di dalam otoritas pajak sendiri).
Kondisi di atas, jelas akan berpeluang merugikan salah satu pihak. Untuk itu, diperlukan kesepahaman di antara berbagai pihak itu, berkaitan dengan cara pandang mereka terhadap suatu aspek perpajakan. Namun untuk itu, setiap pihak yang akan menginterpretasikan dan mencoba mencari solusi berkaitan dengan suatu kasus grey area, terlebih dahulu harus memahami aspek hukum secara umum, dan khususnya sistem hukum di Indonesia. Dalam hal ini, pemahaman yang paling mendasar adalah berkaitan dengan bagaimana cara yang tepat untuk mengaplikasikan suatu ketentuan perpajakan.


Munculnya Grey Area dalam Perpajakan
Grey Area dalam perpajakan muncul karena bantak sebab, diantaranya adalah :
  • Ketiadaan ketentuan yang semestinya mengatur suatu permasalahan, sehingga memunculkan berbagai persepsi atau interpretasi dan penafsiran;
  • Pengaturan yang ada tidak jelas dan tidak pasti;
  • Pengaturan yang ada berlebih atau saling tumpang tindih;
  • Perbedaan kepentingan dan penafsiran antara pembayar pajak dan otoritas pajak;
  • Perbedaan kepentingan dan penafsiran di antara pembayar pajak;
  • Perbedaan kepentingan dan penafsiran di antara berbagai pihak di dalam otoritas pajak.
 
Menyikapi Grey Area Perpajakan dengan Benar
Pada prinsipnya, setiap pihak siapapun dia (pembayar pajak, konsultan pajak, maupun otoritas pajak) harus mengambil sikap yang tepat atas setiap grey area di dalam dunia perpajakan. Tolok ukur dari sikap itu adalah tetap dipertahankannya orientasi pihak yang bersangkutan pada aspek kebenaran dan keadilan, sebab:
  • Undang-undang perpajakan diberlakukan dengan mengedepankan aspek keadilan. Hal ini bisa dilihat dalam semua konsideran atau pertimbangan yang menjadi uraian pembuka setiap undang-undang perpajakan;
  • Beban pajak harus ditanggung atau dibayar sesuai dengan kemampuan pihak yang harus menanggung atau membayarnya. Ini adalah karakteristik dasar dari setiap sistem perpajakan yang ada di dunia dan dianggap ideal. Oleh sebab itu, beban pajak atau jumlah pajak yang harus ditanggung atau dibayar, harus didasarkan pada kondisi yang nyata, realitas dan fakta yang ada. Sebisa mungkin tidak berdasarkan asumsi atau taksiran.
Dari pra-syarat di atas, maka dalam menyikapi setiap grey area perpajakan, setiap pihak semestinya memahami dan meyakini hal-hal berikut ini:
  • Hukum diterapkan dan ditafsirkan dalam cara-cara yang dianggap paling benar dan adil, dengan urut-urutan yang tepat sesuai kebenaran dan keadilan tersebut. Hal ini termasuk juga berkaitan dengan hirarki atau peringkat peraturan;
  • Semua pasal undang-undang dan ketentuan perpajakan bisa dikatakan mengandung grey area. Sebabnya adalah fakta di mana tidak semua hal bisa dituangkan ke dalam redaksional ketentuan perpajakan. Sebagai contoh, istilah-istilah “dan sebagainya”, “dan sejenisnya”, “dan lain-lain”, “termasuk” yang banyak ditemui dalam berbagai pasal dan peraturan perpajakan. Semua ungkapan ini bersifat terbuka dan tidak pasti;
  • Berbicara tentang pajak, tidak bisa hanya berbicara tentang hitam dan putih, melainkan harus mengutamakan kondisi faktual yang ada. Hal ini dituangkan dalam ketentuan formil undang-undang perpajakan kita:
  • Menyikapi grey area harus dilakukan dengan sudut pandang yang benar, agar tidak terjadi bias kepentingan. Oleh sebab itu, pihak yang bersangkutan harus bisa melihatnya dari kacamata praktisi perpajakan agar tetap bisa objektif dan berorientasi pada aturan perpajakan secara netral. Ini berarti, kacamata pembayar pajak atau kacamata otoritas pajak tidak dapat digunakan secara sepihak.

Cara Menentukan Aspek Perpajakan Suatu Transaksi
Cara menentukan aspek pajak dalam suatu transaksi, pada dasarnya mengikuti pola atau proses sebagai berikut:
  • Menentukan duduk persoalan dan konteksnya, hal ini dilakukan dengan memetakan kondisi faktual dari transaksi yang bersangkutan. Hal ini mencakup objek atau benda yang ditransaksikan, pihak yang bertransaksi, motivasi atau tujuan transaksi, sifat atau karakteristik dan ciri-ciri transaksi termasuk nama dan sebutan transaksi, waktu transaksi, tempat transaksi dan cara transaksi;
  • Mengumpulkan berbagai aturan yang sesuai konteks dan permasalahan;
  • Menerapkan aturan perpajakan berdasarkan hirarki dan cara penafsiran sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Sedapat mungkin cara yang dipilih adalah cara yang paling valid;
  • Mengidentifikasi berbagai alternatif solusi maupun alternatif perlakuan perpajakan. Hal ini dilakukan dengan memilih alternatif yang dianggap paling menguntungkan;
  • Mengidentifikasi risiko-risiko yang terkait pada setiap alternatif solusi atau aternatif perlakuan perpajakan.